Kelompok Islam Netral

Oleh: Rasul Ja’fariyan

Setelah seribu empat ratus tahun kemunculan Islam, ketika kita melihat kembali masa lalu, kita akan dapat melihat kemunculan berbagai fenomena, kecenderungan dan mazhab yang beraneka ragam di tengah-tengah kaum muslimin. Masing-masing mazhab tersebut memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan dengan selainnya. Perbedaan pandangan-pandangan tadi yang terkadang berawal dari perbedaan fikih sehingga mengakibatkan kemunculan puluhan kelompok-kelompok aliran fikih. Pada tubuh Ahli Sunah sendiri terdapat empat aliran fikih. Sedang pada tubuh Syi’ah hanya terdapat satu aliran pemikiran saja, fikih Ahlul Bait. Walaupun pada fikih Ahlul Bait sendiri juga akan kita dapati perbedaan-perbadaan pada dataran masalah-masalah yang bersifat parsial. Namun, pada akhirnya, banyak sekali dari kelompok-kelompok tadi pun sirna ditelan masa.

Terkadang pula penyebab perbedaan yang ada beranjak dari permasalahan-permasalan teologi (kalam), sehingga mengakibatkan kemunculan berbagai mazhab-mazhab teologi yang bermacam-macam dengan sebutan yang beragam pula. Dimana setiap mazhab-mazhab tadi tersebar di berbagai pelosok kota dan daerah. Sebagian dari kelompok-kelompok teologi ini masih tetap bertahan hingga sekarang. Sedang sebagian yang lain akhirnya juga turut sirna ditelan zaman.

Sebagian perbedaan-perbedaan pandangan tersebut bermula dari perbedaan pemahaman berkaitan dengan ruh (esensi) agama, pengenalan pesan agama, metode penganalisaan dan atau cara penjelasan asas-asas agama. Adakah agama dapat dipahami dengan akal ataukah hanya dapat dipahami melalui teks saja? Adakah agama juga dapat dipahami melalui jalur esoteris (Irfan) ataupun hanya dapat dipahami melalui jalur eksoteris saja? Sebagian kelompok telah terjerumus ke dalam jurang kefanatikan dan kekakuan dalam memahami ajaran agama. Sedang sebagian lain berusaha memahaminya secara fleksibel dan riil.

Semua orang mengetahui bahwa kelompok Khawarij memiliki cara tersendiri dalam memahami ajaran Islam. Mereka memahami Islam dengan metode yang kaku dan sangat mudah melakukan pengkafiran. Pemahaman yang berasaskan atas satu hal dimana para pelaku dosa besar dianggap sebagai kaum kafir yang layak untuk dibunuh sedang hartanya boleh dibagi-bagikan.

Tanpa diragukan lagi, khalifah pertama dan kedua pun juga memiliki pemahaman khusus berkaitan dengan ajaran agama. Melalui telaah atas sejarah hidup mereka niscaya akan diketahui metode khusus yang mereka miliki. Setelah itu, muncullah kelompok Murji’ah dan Mu’tazilah yang juga memiliki kekhususan tersendiri dalam memahami Islam. Setelah berjalan berabad-abad, kelompok-kelompok besar dan kecil mulai sirna satu persatu. Sekarang ini, tidak ada lagi kelompok yang bernama Murji’ah dan Muktazilah. Sebagaimana banyak juga dari kelompok-kelompok fikih yang juga turut sirna ditelan masa.

Kurang lebih bisa dikatakan bahwa pasca penyerangan oleh tentara Mongol dan kehancuran kota Baghdad, dunia Islam mengalami masa proses pembersihan secara besar-besaran sehingga dari situ terjadilah berbagai perbedaan dan kecenderungan yang memunculkan kelompok-kelompok tertentu dalam tubuh Islam. Tragedi ini juga menumbuhkan beberapa potensi akan kemunculan dua pembagian dalam dunia Islam dan terealisasinya kelompok besar yang lantas lebih dikenal dengan sebutan Sunni dan Syi’ah. Dari hal tadi akhirnya menghasilkan berbagai macam perdebatan yang terjadi di antara kelompok-kelompok dalam tubuh Sunni dan Syi’ah. Dari situ akhirnya hal-hal yang dapat dipertahankan dapat tetap bertahan sementara sesuatu yang dapat dengan mudah disingkirkan pun akan segera ditanggalkan. Realitanya, kenapa pemikiran filsafat dunia Islam yang dahulu dapat ditemui di pelbagai kelompok-kelompok Islam termasuk kelompok Ahli Sunah sekalipun namun setelah itu hilang begitu saja, sementara pemikiran tersebut hanya tetap terus bertahan dan berkembang pada kelompok Syi’ah saja? Kenapa pada peninggalan budaya (mirats) Syi’ah terdapat sebuah karya besar seperti kitab Nahjul Balaghah yang secara keseluruhan mencakup ajaran akal, pemahaman dan argumen namun hal serupa tidak dapat kita jumpai dalam peninggalan budaya Ahli Sunah?

Dalam Ahli Sunah kita hanya akan dapati beberapa kitab hadis yang itupun dengan menggunakan filter yang dipakai oleh Ahli Sunah dari kelompok para Ahli Hadis yang -konon- anti bid’ah, yaitu anti dan berusaha untuk membersihkan segala bentuk kelompok rasionalis. Hanya hadis-hadis semacam itulah yang akhirnya tersisa dan tetap terjaga. Hal itu meniscayakan bahwa tugas penting seorang pelajar agama hanya pada menghapal dan merenungkan hadis-hadis yang ada tadi. Itupun mereka hanya sebatas mencukupkan pada dimensi zahirnya saja. Teks sejarah semacam ini tidak mungkin akan dapat kita lupakan dimana pribadi seperti Ahmad bin Hanbal sewaktu ditanya tentang hadis Al-Ghadir maka ia menjawab: “Hapalkan saja hadis tersebut, namun kamu tidak berkeharusan untuk merenungkannya.” Ini adalah ungkapan Ahmad bin Hanbal dalam menjawab pertanyaan Ahmad bin Humaid Al-Misykani berkisar tentang masalah pendapatnya tentang hadis Al-Ghadir; “Laa takallam fii hadzaa, wa da’ al-hadis kamaa jaa’a” (Jangan kamu berbicara tentang hal ini, dan biarkan hadis ini sebagaimana adanya) (Lihat: As-Sunah karya Ibn Khalal, jil: 1 hal:346-347). Lantas kenapa dalam Syi’ah berpikir secara independen sebegitu dihargai namun dalam Ahli Sunah yang resmi hanya nampak pada hapalan teks Al-Qur’an, merujuk kepada hadis-hadis dari kitab Sahih Bukhari dan mengulang-ulang pernyataan para pendahulu (salaf) sehingga pemahaman dan pemikiran mereka tidak pernah nampak di permukaan? Kenapa hingga sekarang ini di universitas Islam Madinah, Universitas Al-Azhar dan tempat-tempat lain tidak dapat dijumpai pengajaran filsafat Islam yang murni? Pertanyaan-pertanyaan ini harus memiliki jawaban yang jelas dan akurat.

Dari sudut pandang pemikiran, kelompok Syi’ah telah menyatakan kedudukannya yang begitu luhur dan terus menekankan kepada segenap pengikutnya untuk selalu berpikir dan berpikir. Selain itu, Syi’ah selalu berusaha untuk tetap bertahan dan bertoleran dengan orang-orang yang memusuhinya, bahkan mereka selalu hidup berdampingan dengan kelompok-kelompok tersebut. Di sisi lain, adanya kecenderungan untuk menentang proses pemikiran yang selalu identik dengan para pengikut aliran Ahli Zahir (tekstualisme) dimana mereka terkenal dengan metodenya yang khas yang selalu menjadikan tolok ukur segala sesuatu dengan zahir hadis dan menentang segala macam bentuk argumentasi akal dan filsafat. Mereka bangga dengan metode tersebut.

Tentu, ada kecenderungan lain yang bersifat minoritas terjadi pada Ahli Sunah di abad-abad permulaan kemunculan Islam untuk cenderung berpikir dan ber-filsafat. Namun secara prinsip, esensi hal tersebut telah hilang dan pada akhirnya filsafat hanya dijadikan sebagai bagian tambahan (sesuatu yang lain) sehingga akhirnya iapun dikeluarkan dari kelompoknya. Hingga hari ini, ajaran-ajaran tradisional mereka pun turut dijauhi dan dihindari.

Dalam tradisi Ahli Sunah, segala bentuk kelompok pemikiran yang mengandalkan kebebasan berpikir selalu dikategorikan sebagai ajaran menyimpang dan diidentikkan telah terpengaruh dengan pemikiran Syi’ah. Mereka memasukkan golongan tersebut sebagai kelompok Ahli Bid’ah sehingga mereka beranggapan bahwa setiap pemikiran rasional yang selalu menggunakan metode pentakwilan harus dijauhi. Fenomena semacam ini akan meniscayakan bahwa tidak satupun dari ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat ambigu (mutasyabih) akan dapat dipahami dan mereka akan selalu tetap berpegangan dengan zahir. Mereka menyatakan bahwa tanpa menggunakan metode tersebut maka tergolong kelompok yang sesat. Perilaku ekstrim dalam melihat zahir teks merupakan pondasi dan batin dari fenomena para penentang tadi. Kecenderungan untuk berpegangan terhadap hadis mereka tadi pun diberi persyaratan berupa; tidak boleh dipengaruhi dan diwarnai dengan hadis-hadis Syi’ah. Ini semua merupakan pondasi-pondasi pemikiran mereka.

Secara historis, sepanjang sejarah Syi’ah telah memiliki hakekat pemikiran dan menjadikannya sebagai pondasi utama dalam perkembangan pola-pikir mazhabnya. Dengan dalil ini pula akhirnya dapat diketahui bahwa peninggalan budaya filsafat Islam yang telah nampak semenjak abad pemulaan kemunculannya tetap terus berkembang dan akan selalu menjadi pusat pengembangan pemikiran Syi’ah pada pusat-pusat keilmuan mereka. Hal itu terjadi pada saat semua kelompok-kelompok semakin membenci filsafat dan argumentasi akal, namun justru Syi’ah terus mengembangkannya.

Peninggalan budaya Muktazilah pun akhirnya dilimpahkan kepada Syi’ah. Hal itu dikarenakan tidak ada satu kelompokpun yang mampu menanggung beban berat tersebut. Dalam budaya Syi’ah, fenomena kitab Nahjul Balaghah sebagai kitab rasional akan dapat menjadi poin yang mampu menghantarkan Syi’ah menuju puncak keunggulan. Tentu kitab tersebut selain sebagai sebuah karya besar, ia pun memiliki nilai tersendiri dalam budaya Syi’ah. Bahkan, legalitas kitab tersebut dalam pandangan Syi’ah menunjukkan eksistensi ruh Al-Ghadir dalam budaya mazhab Syi’ah.

Betapa perbedaan antara ajaran tauhid dalam Syi’ah yang terdapat dalam ungkapan-ungkapan Imam Ali as dan hadis-hadis Ahlul Bait as jika dibandingkan dengan tauhid dan teologi yang diajarkan oleh kelompok-kelompok lainnya yang dilandasi oleh sekumpulan riwayat-riwayat yang cenderung anthropomorphis (menyamakan Tuhan dengan manusia .pent). Ini merupakan perbedaan yang mendasar antara ajaran Islam Alawi (yang diajarkan oleh Ali as.—pen.) dengan semangat ruh Al-Ghadir dibanding dengan apa yang diajarkan oleh penentangnya.

Ruh semangat semacam ini pun dapat dijumpai dalam kumpulan doa-doa mazhab Syi’ah, sebagaimana yang dapat lihat dalam doa-doa seperti: doa Arafah, doa Jausyan, doa Kumail, doa Abu Hamzah dan doa-doa lainnya yang bermuatan irfan positif yang tiada tandingannya. Dari sisi muatan makrifat dan peribadatan, doa-doa tersebut memiliki peran yang sangat besar dimana semua itu merupakan pengejawantahan dari keberadaan ruh Al-Ghadir dalam Syi’ah. Dari sini pula dapat diketahui bahwa Syi’ah bukan hanya sekedar mazhab yang sering diistilahkan banyak orang, namun ia sampai pada batas sesuatu yang terbangun dari satu filsafat hidup. Perkara tersebut memiliki akar yang kuat dalam budaya Syi’ah. Dari hal itulah akhirnya ia dapat bertoleran dengan para penentangnya. Para Imam Ahlul Bait as menganjurkan kepada setiap Syi’ah (baca: pengikut) mereka untuk beramal dan mempraktekkan taqiyah mudarati. Taqiyah jenis ini adalah masuk kategori taqiyah khauf yang dilaksanakan karena adanya rasa khawatir.

Maksud dari taqiyah ini adalah untuk menjaga kehormatan dan untuk tetap dapat bersikap toleran kepada kelompok lain. Sehingga kita dapati berapa benyak riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab standar Syi’ah yang menjelaskan tentang shalat bersama Ahli Sunah, kendatipun riwayat-riwayat dan fatwa-fatwa Ahli Sunah tidak pernah memperbolehkan untuk shalat dibelakang orang-orang pengikut mazhab Syi’ah.

Munculnya banyak intelektual dikalangan Syi’ah seperti Syeikh Baha’i yang berkeyakinan bahwa para pengikut agama lain yang dikarenakan jahil Qashir (kebodohan tanpa sadar .pent) mereka maka tidak akan menyebabkan mereka dimasukkan ke dalam neraka. Ini merupakan hasil dari pemikiran toleransi yang memiliki nilai akurat dalam akal manusia dan tidak begitu saja menyerahkan segala sesuatunya kepada teori determinasi masa (jabr zamani).

Adapun jika dilihat dari kaca mata historis, masa-masa kekuasaan Syi’ah di Iran dan Irak merupakan salah satu masa kejayaan pemikiran-pemikiran dalam sejarah peradapan Islam. Selama kurang lebih seratus tahun kekuasaan Ali Buyeh di Baghdad (Irak) dan Iran merupakan masa yang sering diistilahkan dengan masa renaissance Islam. Namun dikarenakan kemunculan dinasti Turki Saljuk dan Ghaznawi yang mengakibatkan kehancuran budaya luhur tersebut. Kendatipun pada masa-masa tersebut merupakan kondisi yang sangat sulit, namun para pengikut Syi’ah dengan tetap memiliki pengaruh terhadap pusat-pusat administrasi pemerintahan, akhirnya mereka tetap dapat mewarnai kondisi budaya kala itu.

Menurut pendapat saya, ada satu poin penting yang berhubungan dengan semua kekuasaan dan pemerintahan Syi’ah; dari sisi keagamaan, mereka tidak memiliki sifat fanatisme terhadap mazhab. Hal ini dapat kita perhatikan dalam pemerintahan dinasti Ali Buyeh, Hamdaniyah, Fathimiyah dan Zaidiyah di Yaman. Shahib bin ‘Ibad yang bermazhab Syi’ah sebegitu lapang dadanya sehingga ia mengangkat Qadhi Abdul Jabbar -yang telah menulis kitab anti Syi’ah- sebagai pemimpin para qadi (hakim). Lantas siapakah yang mampu menanggung toleransi berat semacam ini? Bayangkan, qadi inipun sewaktu Shahib bin ‘Ibad maninggal, ia tidak mau turut hadir dalam upacara pemakamannya.

Menurut pendapat saya, pada masa kekuasaan dinasti Safawi, di saat perseturan terjadi di awal-awal kekuasaannya dan yang mengakibatkan penyerangan oleh pemerintahan Usmani dan Sultan Salim -yang telah melalui ribuan kilometer- guna menyerbu dinasti tersebut, namun dinasti Safawi tetap bertoleran dan bersikap netral terhadap para masyarakatnya yang bermazhab Sunni. Pemerintahan ini selama dua ratus tahun bersikap toleran terhadap para pengikut Ahli Sunah di Iran yang berada di bawah kekuasaannya tanpa memaksa mereka untuk meneriman mazhab Syi’ah.

Namun Sultan Salim yang bermazhab Sunni dan pengaku sebagai pembela Ahli Sunah, ia telah membunuh lebih dari dua ratus ribu orang Ahli Sunah sendiri di wilayah Syam (mencakup Syiria, Lebanon dan Palestina–pen.) dan Mesir, sekedar untuk menghancurkan pemerintahan raja-raja dan bertujuan hanya sekedar mendapar gelar Khadim al-Haramain (pelayan dua haram; Makah dan Madinah .pent). Lantas siapakah yang dapat melupakan kebiadapan Salim dalam membantai kaum muslim Sunni tersebut? Ditambah lagi dengan kebiadapannya dalam membantai para pengikut Syi’ah di Anatoli, bahkan dia telah membunuh semua anggota keluarganya yang laki-laki agar tidak ada yang dapat merebut kekuasaan dari tangannya.

Jika seseorang meneliti sejarah pada masa-masa dinasti Safawi –sekali lagi saya tekankan bahwa pada masa awal kemunculannya, pembantaian Syi’ah sudah menjadi hal yang biasa- dan Qajar, jika di dapati adanya tekanan muncul dari pemerintah (Syi’ah) pusat untuk menekan kaum pengikut Sunni kala itu, maka buktikanlah hal tersebut kepada kami! Dinasti Fathimiyah di Mesir yang berkuasa hampir dua ratus lima puluh tahun, namun tidak seorang pun yang dapat memberikan bukti bahwa Fathimiyah telah memaksakan penduduknya untuk mengikuti mazhab mereka. Padahal kala itu, mereka telah bekerja keras untuk menyebarkan mazhabnya ke segenap penjuru dunia Islam. Begitu pula yang terjadi pada masa dinasti Ali Buyeh. Tidak ada seorangpun yang dapat meragukan kemampuannya dalam menguasai Baghdad. Tiada seorangpun yang dapat mengingkari kekuasaan mutlak ‘Adhud Ad-Daulah di Baghdad. Ia pun telah berhasil menguasai beberapa kota di wilayah Iran seperti; Syiraz, Isfahan, dan Rey. Namun ia selalu berusaha menghilangkan suasana tekanan terhadap para pengikut Syi’ah sehingga mereka dapat tetap menyebarkan syiar-syiar mereka. Sebagaimana ia pun tidak melakukan pencabutan kekuasaan khalifah Abbasi yang Sunni, dan sebagaimana ia juga tidak memilih qadi (hakim) Syi’ah untuk kalangan masyarakat Sunni dan juga tidak memaksakan kehendak dan pendapatnya kepada orang lain.

Sementara di sisi lain, telah tercatat dalam sejarah, berbagai tindakan yang mencerminkan kefanatikan mazhab pada masa Ghaznawi dengan menekan dan membantai para pengikut Syi’ah di kota Rey dan menghancurkan perpusatakaan-perpustakaan mereka. Prilaku Sultan Ghaznawi terhadap para pengiku Syi’ah dan Muktazilah di kota Rey tersebut atas perintah khalifah Sunni yang telah memerintahkan untuk membantai mereka. Dan setelah melakukan hal itu, dengan bangganya ia melaporkannya kepada khalifah tadi dengan menulis sepucuk surat laporan untuk khalifah sebagai bukti telah melaksanakan apa yang telah diperintahkan khalifah dengan baik.

Pemerintahan dinasti Hamdaniyah sebagaimana yang terjadi pada kekuasaan Sad Sekandar yang telah melawan pasukan Salibis (Kristen). Ia memiliki kekuatan yang sangat besar. Ia merupakan pemerintahan Syi’ah yang dalam permasalah-permasalahan fikih selalu merujuk kepada Syiekh Mufid. Kendati demikian pemerintahan ini tidak menjalankan politik fanatisme mazhab.

Sekarang, perhatikan apa yang dilakukan oleh dinasti Ayyub dan para raja-raja Sunni terhadap para pengikut Syi’ah di wilayah Syam. Pada zaman dulu dimana mayoritas wilayah Syam dihuni oleh kabilah-kabilah Arab yang bermazhab Syi’ah. Kota Halab secara total dikuasai oleh mereka. Sewaktu kekuasaan dinasti Fathimiyah mulai melemah, dinasti Ayyub menyerangnya (pimpinan Shalahuddin al-Ayyubi .pent) dengan membantai semua anggota penduduknya dengan tanpa menyisahkan seorangpun. Sekarang ini, hanya beberapa desa di pinggiran kota Halab saja yang masih tersisa sebagai pengikut Syi’ah. Kala itu, dinasti Ayyub tidak menjangkau Lebanon dan Ba’albak. Jika tidak, niscaya sekarang ini tidak akan ada seorangpun pengikut Syi’ah di daerah tersebut. Jika para fakih (Sunni) pada masa itu menyampaikan ungkapan mereka di wilayah Halab, dan jika ada yang mampu menemukan fatwa-fatwa (ulama Syi’ah) yang anti Sunni, maka buktikanlah dan berikanlah satu contoh saja! Namun sebaliknya, dapat kita temui ratusan tulisan fatwa dan ajaran yang bersumber dari Ibnu Taimiyah yang sekarang ini dijadikan sebagai simbol kesunnian di Mesir, Arab Saudi dan berbagai wilayah lainnya yang digunakan dalam mengkafirkan kelompok selainnya. Ibnu Taimiyyah bukan hanya menghujat filsafat, kitab penentangan terhadap ilmu logika pun telah ia tulis. Sekarang ini, semua kelompok pengkafiran (takfiry) dan Wahabi (Salafy–pen.) merasa bangga karena ajaran mereka bersumber dari pemikiran Ibnu taimiyah.

Sekarang ini, telah bertahun-tahun dengan kekuasaan dan berbagai kemampuan yang dimiliki oleh Republik Islam di Iran, dimana ia bukan hanya bertumpu di atas syiar-syiar persatuan kaum muslimin, sebagaimana bukan hanya rahbar (pemimpin tertinggi .pen) sistem pemerintahan tersebut yang menyerukan, namun sejak awal berdirinya pemerintahan dan kekuasaan ia telah membolehkan untuk melakukan shalat berjamaah di belakang imam jama’ah Masjidil Haram (Makkah) dan Masjid Nabawi (Madinah). Ia bukan hanya bertindak toleran dan bersahabat terhadap para penentangnya yang sangat ekstrim di luar batas wilayah teritorialnya saja, namun ia juga berusaha secara optimal untuk tetap menjaga hak-hak pengikut Sunni di dalam negerinya. Yang mengherankan, sewaktu salah seorang teman saya pada tahun ini (1385 H./2007 M.) pergi untuk menemui salah seorang pengurus komite Amar Makruf Nahi Munkar di kota Makkah, lantas dia menceritakan kepada saya bahwa pengurus tadi mengatakan kepadanya: “Kenapa para penziarah Iran tidak melaksanakan shalat berjamaah di Masjidil Haram?”. Lantas teman saya menjawabnya dengan berkata: “Selama dua puluh delapan tahun Imam Khomaini melarang untuk melakukan shalat jamaah di hotel-hotel (tempat para jamaah menginap .pent) sehingga para penziarah Iran melaksanakan shalat jamaah di Masjidil Haram. Anda ini pengurus macam apa sehingga selama sekian tahun hakekat semacam ini berkaitan dengan realita yang ada pun anda tidak mengetahuinya?!”

Sekarang mari dibandingan antara tekanan-tekanan yang terjadi pada seratus tahun yang lalu dari pihak kerajaan Saudi Arabia terhadap para pengikut Syi’ah di Saudi Arabia sendiri. Begitu pula perbandingkan antara apa yang terjadi di Irak dari prilaku buruk dan kejam para penguasa dinasti Usmani ataupun di masa-masa kerajaan dan golongan partai Ba’tsi dalam menentang Syi’ah, dengan apa yang dilakukan oleh Republik Islam Iran ataupun pada masa-masa dinasti Pahlevi, Qajar, ataupun Shafawi pada masyarakat Sunni. Semua komparasi itu akan menghasilkan bahwa betapa netralnya pemerintahan para penguasa Syi’ah tersebut. Sampai-sampai para pemimpin Syi’ah sewaktu mendapat tekanan dari daulah Usmani terhadap para pengikut Syi’ah sudah sampai pada puncaknya sedang kolonial Inggris berusaha untuk menggoyang kekuasaan dan pemerintahan daulah Usmani tersebut, seruan untuk persatuan Islam pun masih tetap para pengikut Syi’ah terima, bahkan mereka pun telah mengeluarkan pernyataan-pernyataan guna membela daulah Usmani.

Pada abad kedua belas (Hijriyah), walaupun terdapat usaha-usaha untuk menghalanginya, namun Nadir Syah terus berusaha seoptimal mungkin untuk meminimilir pembatasan terhadap ruang gerak mazhab Syi’ah. Ia telah meminta izin untuk menjadikan imam jamaah dari mazhab Jakfari (Syi’ah) untuk dapat turut andil di Masjidil Haram sebagaimana mazhab-mazhab yang lainnya, dan dimasukkan mazhab Syi’ah sebagai jajaran mazhab fikih yang sejajar dengan mazhab-mazhab fikih lainnya. Namun usaha tersebut tidak memberikan pengaruh sedikitpun. Sekarang ini, kita dapat meneliti zahir pemerintahan Saudi Arabia yang berbentuk sebuah kekuasaan Sunni yang tunduk dan sangat bergantung kepada Amerika, begitu pula melakukan penelitian terhadap kelompok al-Qaidah sebagai sebuah kelompok Sunni penentang para penguasa dengan menggunakan tolok ukur untuk menilai keislaman mereka sesuai dengan semangat Ghadir dan Sunnah Nabi saww yang ada. Jika orang-orang merasa bangga bahwa pemerintahan Ba’ats di Irak yang dikomandoi oleh Saddam Husein merupakan pemerintahan Sunni maka hal tersebut meniscayakan agar mereka pun melihat kembali pengalaman terdahulunya dimana Saddam telah bertindak keras dan semena-mena terhadap para pelawannya. Itu semua sama dengan apa yang telah dilakukan oleh Hajjaj terhadap kaum muslimin. Dan jika hal itu harus tetap dipertahankan maka Bani Umayah pun dapat dibela, sebagaimana Ibnu Taimiyah pun telah turut melakukan pembelaan atas mereka.

Jelas sekali, hendaknya tidak dapat dilupakan adanya para pengikut Ahli Sunah yang netral (mu’tadil) yang berada di Mesir dan Afrika utara, khususnya para pengikut Ahli Sunah yang telah terpengaruh oleh pemikiran tasawuf. Begitu pula betapa banyak pengikut Ahli Sunah yang netral yang mereka banyak berdomisili di India, Pakistan dan kawasan lainnya. Sekarang ini, banyak orang-orang yang dibesarkan dan didanai oleh kelompok Wahabi telah merasa capek, gerah dan bingung dengan prilaku radikal mereka. Lalu orang-orang tadi mempertanyakan kembali tentang pandangan kaum Wahaby yang hanya melihat sesuatu dari sisi luarnya (zahiri) saja. Dan dengan terang-terangan mengakui bahwa Al-Qaidah terlahir dari prilaku radikal dan kasar orang-orang Wahabi dan Saudi. Mereka ini merupakan mayoritas pengikut Ahli Sunah. Dikarenakan faktor kemiskinan, akhirnya sebagian mereka tergiur dengan iming-imingi dana yang dijanjikan oleh para pengikut Wahabi. Padahal mereka sebenarnya dapat menerima Islam Alawi. Hendaknya orang-orang tadi bekerja keras untuk menggalang persatuan dengan mereka dalam rangka menyelamatkan Islam. Karena jika tidak, kelompok Wahabi tidak akan pernah dapat menjaga nama baik dan harga diri Islam. Sebagaimana yang telah terjadi pada al-Qaidah yang telah dianggap sebagai simbol Islam radikal pada beberapa tahun terakhir ini. Ia telah merusak nama baik Islam, sampai-sampai Saddam Husein pun yang segala kejahatannya sangatlah jelas dijadikan sebagai kebanggaan dan idola.

Sekarang ini, Syi’ah telah berhasil mendidik dan mencetak pribadi seperti Imam Khomaeni yang memiliki jiwa dan semangat persatuan yang sangat tinggi. Cita-cita beliau hanyalah persatuan dunia Islam untuk menghadapi Israel dan menyelamatkan Palestina dari cengkeraman musuh Islam tersebut. Beliau adalah seorang penganjur pemberian dana kepada Palestina yang Sunni dengan cara apapun. Tujuan terpentingnya setelah menyelamatkan Iran dari tangan Syah Reza Pahlevi ialah untuk menyelamatkan Palestina. Menurut pendapat saya, semua pandangan ini telah beliau dapatkan dari teks-teks ajaran Syi’ah. Beliau merupakan buah hasil didikan dari pemikiran semacam ini. Inilah jalan yang sedang ditempuh oleh Iran dari dulu hingga sekarang ini.

Pada masa sekarang, dengan segala eksistensinya, kaum Syi’ah pengikut Ayatullah Sistani telah terdidik untuk turut menjaga hak-hak segenap kelompok-kelompok di Irak. Hingga saat ini, mereka tidak bersedia untuk menulis -walau hanya separuh baris- sebuah fatwa anti Sunni. Namun anehnya, pemimpin dan tokoh yang dianggap paling netral di dalam tubuh Ahli Sunah seperti Yusuf Qardhawi –pasca peristiwa Samara- tiba-tiba berceramah menentang Syi’ah, dan pada khutbah shalat Jumat -pada Jumat kedua pasca pelaksanaan eksekusi Saddam Husein- ia mati-matian telah membela Saddam. [ED-ML]

Sumber: Baztab

Penulis: Pakar Sejarah dan Pengajar Sejarah Islam di Hauzah Ilmiyah Qom – Republik Islam Iran.

Tinggalkan komentar

Filed under Religion

Tinggalkan komentar